Air mata saya tak terbendung lagi. Adegan itu sungguh menyentuh dan menggetarkan hati. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa ayah Farhan bisa berubah drastis dan menyetujui pilihan anaknya untuk menjadi fotografer.
Sebelumnya, ayah Farhan begitu bersikeras agar anaknya
menjadi insinyur. Semua daya dan upaya seorang ayah dia kerahkan agar sang anak
bisa sukses menjadi insinyur. “Saya hanya mampu membeli satu alat pendingin di
rumah ini. Dan itu saya pasang di kamar Farhan agar dia bisa belajar dengan
baik. Agar dia kelak menjadi insinyur,” ujar ayah Farhan yang marah ketika
Rancho, sahabat Farhan, nyeletuk bahwa Farhan memiliki bakat yang luar biasa
dalam urusan memotret.
Ayah Farhan marah pada Rancho yang dianggapnya sudah
meracuni pikiran Farhan dengan pilihan lain di uar keinginan ayahnya agar
Farhan menjadi insinyur. Bahkan, pada saat berhadapan dengan Farhan, ayahnya
tak henti-henti menjejali pikiran Farhan akan betapa sukses hidupnya kelak jika
dia menjadi insnyur.
Karena itu, ketika Farhan memohon agar ayahnya mengijinkan
dia untuk tidak mengikuti keinginan ayahnya untuk menjadi insiyur, dan memilih
mengikuti kata hatinya untuk menjadi seorang fotografer, meledaklah amarah sang
ayah. “Kalau kamu menjadi insinyur, kamu akan dapat memiliki mobil bagus, rumah
bagus, dan gaji besar. Hidupmu akan bahagia,” ujar sang ayah mencoba meyakinkan
Farhan. Tetapi, nun jauh di lubuk hatinya, ternyata Farhan tidak bahagia
menjalani kuliahnya di jurusan teknik. Sejak lama dia jatuh cinta pada dunia
fotografi. Namun minatnya itu dipendamnya dalam-dalam, kalah oleh keinginannya
untuk berbakti pada orangtuanya yang berkehendak lain.
Bahkan keinginannya untuk melamar kerja sebagai asisten
seorang fotografer profesional ternama, terpaksa disimpannya dalam-dalam. Surat lamaran yang sudah
ditulisnya, tak pernah berani dikirimkan ke alamat sang fotografer.
Sampai kemudian Rancho, sahabatnya, menemukan surat itu tersimpan di
dalam ransel Farhan. “Kamu harus berani mengirimkannya. Kamu punya bakat
memotret. Ikuti kata hatimu,” ujar Rancho. Tapi, Farhan tak punya nyali untuk
melakukannya. Dia anak baik yang taat pada orangtua. Dia ingin membahagiakan
orangtuanya walau hatinya menderita. Nun jauh di dalam hatinya, Farhan iri
melihat Rancho selalu mendapat nilai tinggi untuk semua mata pelajaran teknik
di kampusnya. Rancho memang memperlihatkan betapa dia sangat meminati dan
menikmati pelajaran-pelajaran teknik. Keinginannya untuk terus menekuni dunia
teknik sangat kuat. Itu bisa dilihat dari jawaban-jawabannya saat ditanya dosen
dan juga kemampuannya memperbaiki helikopter mini berkamera yang sebelumnya
gagal diselesaikan oleh seorang mahasiswa yang akhirnya bunuh diri.
“Berbahagialah mereka yang bekerja di bidang yang dia
sukai. Sebab dia tidak merasa sedang bekerja, tetapi sedang bermain-main dan
dibayar,” ujar Rancho. Sampai pada satu titik, Ranco berhasil meyakinkan Farhan
untuk berterus terang pada ayahnya betapa hatinya lebih ingin menjadi seorang
fotografer ketimbang insinyur. Maka Farhan lalu menghadap sang ayah.
“Kamu akan mendapat uang sedikit. Rumahmu sempit dan
mobilmu kecil,” ujar sang ayah mengomentari niat Farhan untuk menjadi mat kodak
profesional. Farhan lalu berlutut dan membuka dompetnya. Di dompet itu terselip
foto ayah dan ibu Farhan. “Rancho meminta aku untuk memajang foto ini di
dompet, dan melihatnya sebelum aku memutuskan untuk bunuh diri,” ujar Farhan.
Ayah Farhan tercenung sejenak. Pandangannya nanar. Hatinya bergejolak.
Bukan rahasia bahwa di India banyak anak muda yang bunuh
diri akibat tekanan di dalam keluarga dan di kampus. Banyak orangtua yang
menginginkan anaknya menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Bukan apa yang
diinginkan sang anak. Sementara kampus hanya menekankan pada keberhasilan
menggapai nilai akademis yang tinggi dan bukan pada kreativitas. Akibatnya,
banyak anak muda memilih jalan singkat: bunuh diri.
Hati ayah Farhan terguncang. Selama ini dia sudah
mengumpulkan uang yang cukup beser untuk membeli sebuah laptop guna menunjang
keberhasilan Farhan sebagai calon insinyur. Terutama menghadapi saat-saat
rekrutmen pegawai yang dilakukan sebuah perusahaan besar di kampus Farhan.
Sekarang, di hadapannya, sang anak berlutut dan meminta agar dia mengijinkan
anaknya untuk menjadi seorang fotografer.
Adegan dalam film 3
Idiots itu menguras airmata
saya. Apalagi pada saat-saat di mana ayah Farhan bangkit dari duduknya, menuju
ke meja dan mengusap-usap laptop yang tergeletak di atas meja. Dia lalu
menyebut harga laptop yang dibelinya dengan susah payah itu. Setelah
terdiam sesaat, dia bergumam. “Berapa harga sebuah kamera? “ Seakan
tak membutuhkan jawaban, sang ayah melanjutkan, “Jual laptop ini, uangnya
belikan kamera. Kalau kurang, bilang ayah.”
Tak kuasa menahan haru, Farhan memeluk ayahnya. “Jadilah
apa yang kamu inginkan. Bukan yang ayah inginkan,” ujar sang ayah dengan suara
bergetar. Sang ibu yang berdiri tak jauh dari mereka, tak kuasa membendung
tangis bahagia.
Film 3
Idiots memang sarat dengan
pesan. Salah satunya adalah pesan kepada para orangtua agar tidak memaksakan keinginan
pada anak-anak mereka. Sebab sampai saat ini masih banyak orangtua yang ingin
anak-anaknya menjadi sebagaimana yang mereka inginkan. Bukan sesuai keinginan
sang anak. Sebaliknya, film ini juga mengajarkan kepada para anak muda untuk
mencari dan mengejar “lentera Jiwa” mereka. Passion mereka. “Berbahagialah mereka yang
mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan kata hati mereka. Sesuai keinginan
mereka. Sebab mereka tidak merasa bekerja, tetapi bermain-main dan untuk itu
mereka dibayar.”
Dalam film itu, Farhan beruntung memiliki orangtua yang
akhirnya menyadari bahwa ukuran kebahagiaan bukan melulu mobil bagus dan rumah
mewah. Banyak orang yang memiliki jabatan bagus dengan gaji besar tetapi tidak
bahagia.
Air mata saya belum lagi kering ketika film usai. Saya
masih membayangkan berapa banyak anak-anak muda yang saat ini masih terjebak
dalam situasi seperti yang dirasakan Farhan. Anak-anak muda yang terpaksa
menjalankan keinginan orangtua mereka. Anak-anak muda yang tidak berani
mengungkapkan perasaan mereka. Anak-anak muda yang tidak bisa mengejar lentera
jiwa mereka. Anak-anak muda yang terjebak dalam ketidakbahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar